Oleh: Sukiyanto Dalam dunia politik modern, tidak semua tuduhan publik harus dijawab dengan frontal. Ketika seorang tokoh negara seperti Presiden Jokowi tidak secara aktif menunjukkan atau memamerkan ijazah aslinya ke publik, banyak yang bertanya: mengapa tidak sekalian dibuka saja jika memang asli? Ini pertanyaan yang tampak logis, tetapi jika dilihat dari sudut pandang strategi politik dan komunikasi , pilihan untuk diam atau tidak meladeni tuduhan adalah bagian dari strategi “selective engagement” , yakni memilih kapan dan kepada siapa seseorang perlu merespons. 1. Semakin Ditanggapi, Semakin Tumbuh Dalam teori framing media , isu-isu yang tidak mendapatkan panggung akan mati dengan sendirinya. Jika Jokowi atau Istana Negara terlalu sering menanggapi isu ijazah palsu, maka narasi itu akan semakin kuat tertanam di benak publik , terutama mereka yang mudah terpengaruh oleh hoaks. Sebaliknya, diam dapat memutus siklus penyebaran isu , karena tidak ada “bahan bakar baru” untuk digoreng...