Oleh: Sukiyanto
Dalam dunia politik modern, tidak semua tuduhan publik harus dijawab dengan frontal. Ketika seorang tokoh negara seperti Presiden Jokowi tidak secara aktif menunjukkan atau memamerkan ijazah aslinya ke publik, banyak yang bertanya: mengapa tidak sekalian dibuka saja jika memang asli?
Ini pertanyaan yang tampak logis, tetapi jika dilihat dari sudut pandang strategi politik dan komunikasi, pilihan untuk diam atau tidak meladeni tuduhan adalah bagian dari strategi “selective engagement”, yakni memilih kapan dan kepada siapa seseorang perlu merespons.
1. Semakin Ditanggapi, Semakin Tumbuh
Dalam teori framing media, isu-isu yang tidak mendapatkan panggung akan mati dengan sendirinya. Jika Jokowi atau Istana Negara terlalu sering menanggapi isu ijazah palsu, maka narasi itu akan semakin kuat tertanam di benak publik, terutama mereka yang mudah terpengaruh oleh hoaks.
Sebaliknya, diam dapat memutus siklus penyebaran isu, karena tidak ada “bahan bakar baru” untuk digoreng media sosial.
2. Validasi Lewat Institusi, Bukan Drama Publik
Jokowi memilih jalur institusional, bukan emosional. Ijazahnya telah diverifikasi oleh:
-
KPU saat mendaftar sebagai capres
-
UGM sebagai lembaga akademik
-
Pengadilan yang menolak semua gugatan soal ijazah
Artinya, ia tidak merasa perlu melakukan klarifikasi publik atau membuka dokumen ke publik luas, karena semua prosedur formal sudah dilalui. Dalam sistem demokrasi modern, legitimasi berasal dari institusi hukum dan administratif, bukan dari “pembuktian di media sosial.”
3. Publik Terbelah: Rasional vs Emosional
Isu ijazah Jokowi memunculkan dua kelompok:
-
Publik rasional, yang menilai bahwa tuduhan ini tidak relevan karena tidak ada bukti kuat, dan proses hukum sudah dijalankan.
-
Publik emosional, yang percaya bahwa karena Jokowi tidak “berani” menunjukkan ijazah ke publik, maka pasti ada yang disembunyikan.
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut confirmation bias – orang cenderung percaya informasi yang memperkuat keyakinannya, dan mengabaikan fakta yang bertentangan.
4. Opini: Apakah Jokowi Seharusnya Membuka Ijazah?
Sebagian pengamat politik berpendapat: “Kalau tidak ada yang disembunyikan, buka saja ke publik, selesai urusan.”
Namun di sisi lain, ada juga yang menyatakan bahwa jika presiden sampai “mengalah” pada tekanan semacam itu, maka itu akan menjadi preseden buruk. Setiap orang nantinya bisa menekan pejabat negara hanya dengan narasi liar tanpa dasar hukum.
Jika setiap tuduhan harus dilayani, maka energi negara akan habis untuk membantah hoaks, bukan menjalankan pemerintahan.
5. Mengapa Isu Ini Tidak Mati-mati?
Karena:
-
Ada permintaan politik: lawan-lawan Jokowi masih menjadikan ini sebagai alat delegitimasi.
-
Ada pasar informasi gelap: media sosial adalah tempat subur bagi teori konspirasi.
-
Ada ketidakpuasan ekonomi/sosial: masyarakat yang kecewa dengan kebijakan Jokowi akan lebih mudah percaya isu negatif.
Kesimpulan Tambahan: Isu Ini Lebih Politik daripada Akademik
Pada akhirnya, isu ijazah Jokowi bukan soal akademik atau legalitas, tapi alat politik. Jokowi dianggap ‘alot’ karena memilih berpegang pada proses hukum dan institusi resmi, bukan karena menyembunyikan sesuatu.
Justru kalau beliau mudah tergoda untuk membuktikan ke publik atas tuduhan yang tidak berdasar, ia akan masuk dalam jebakan opini liar — sesuatu yang dalam politik disebut sebagai "spiral of disinformation."
Comments
Post a Comment