Oleh: Sukiyanto
Sejak beberapa tahun terakhir, isu mengenai ijazah Presiden Joko Widodo kembali diangkat ke permukaan oleh segelintir pihak yang meragukan keabsahan status akademiknya sebagai alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka menuduh bahwa Presiden Jokowi belum pernah menunjukkan ijazah aslinya kepada publik secara langsung. Tuduhan ini kemudian berkembang menjadi teori konspirasi yang cukup viral, terutama di media sosial.
Namun, mari kita telaah lebih jernih: benarkah Presiden Jokowi enggan menunjukkan ijazah aslinya? Atau sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu?
Legalitas Sudah Ditegaskan, Bukan Sekadar Asumsi
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa dalam setiap proses pemilihan umum, calon presiden wajib menyertakan dokumen akademik yang diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kasus Jokowi, verifikasi itu sudah dilakukan, bahkan lebih dari satu kali: pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Selain itu, pihak UGM sebagai lembaga akademik resmi telah menyatakan bahwa Jokowi adalah lulusan Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan lulus tahun 1985. Arsip akademik, skripsi, dan dokumentasi administrasi kampus juga mencatat keberadaan beliau sebagai mahasiswa yang sah.
Fakta-fakta ini semestinya cukup. Namun bagi sebagian pihak, hal itu dianggap belum cukup karena Jokowi belum "memperlihatkan secara langsung ijazah aslinya ke publik."
Pertanyaannya: apakah presiden wajib melakukannya?
Bukan Kewajiban Presiden Tunjukkan Dokumen ke Publik
Dalam sistem hukum dan administrasi negara, tidak ada aturan yang mewajibkan presiden atau pejabat publik untuk memamerkan ijazah ke publik secara langsung—selama dokumen tersebut sudah diverifikasi secara resmi oleh lembaga negara yang berwenang.
Presiden bukanlah peserta audisi atau lomba pidato yang harus menunjukkan semua sertifikat di depan kamera. Ia adalah kepala negara yang tunduk pada proses hukum, bukan pada tekanan opini publik yang dibentuk oleh sebagian pihak yang tidak puas secara politis.
Strategi Diam: Memutus Siklus Disinformasi
Ada satu hal yang sering dilupakan oleh publik: tidak semua tuduhan harus dijawab. Dalam komunikasi politik, membalas isu yang tidak berdasar justru bisa memperkuat persepsi publik terhadap keberadaan isu tersebut.
Inilah yang disebut dengan efek streisand — ketika upaya untuk membantah sesuatu justru membuat orang semakin penasaran dan mempercayainya.
Maka wajar jika Presiden Jokowi memilih jalur diam dan menyerahkan klarifikasi pada institusi yang berwenang seperti UGM dan KPU. Karena jika ia ikut menanggapi langsung, maka isu ini bisa terus menjadi bahan bakar politik yang tidak ada habisnya.
Isu Ijazah Lebih Bersifat Politik daripada Legal
Kalau kita mau jujur, masalah ini sudah bukan soal keabsahan akademik lagi. Ini adalah upaya politik untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi secara pribadi. Di saat kritik terhadap kebijakan negara sulit dibuktikan atau dibantah, maka yang diserang adalah aspek personal: asal-usul, ijazah, bahkan agama.
Dan ini bukan hal baru dalam dunia politik. Di Amerika Serikat, Presiden Barack Obama juga pernah dituduh bukan warga negara AS. Tuduhan itu terus-menerus digaungkan oleh lawan politiknya, meskipun semua dokumen kelahiran sudah ditunjukkan secara resmi.
Hoaks dan teori konspirasi adalah bagian dari perang opini, bukan perang fakta.
Tidak Semua Tuduhan Layak Diladeni
Bayangkan jika seorang kepala negara harus meladeni semua tuduhan dari publik, termasuk yang tidak berdasar. Besok-besok bisa muncul tuntutan untuk menunjukkan akta lahir, kartu keluarga, hingga nilai rapor SMP. Apakah itu logis? Tidak. Dan yang lebih penting: apakah itu adil? Jelas tidak.
Kita hidup dalam negara hukum, bukan negara gosip.
Menjaga Marwah Institusi
Dalam konteks ini, sikap Jokowi yang cenderung "diam" sebenarnya bukan sikap pasif, melainkan percaya pada mekanisme institusi negara. Biarlah KPU berbicara. Biarlah UGM memberikan klarifikasi. Biarlah pengadilan memutuskan berdasarkan bukti, bukan tekanan opini.
Justru kalau presiden ikut sibuk membela diri atas tuduhan tidak berdasar, itu akan menjadi preseden buruk bagi pemimpin di masa depan.
Penutup: Ayo Dewasakan Demokrasi Kita
Sudah saatnya kita dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi. Jika tidak puas terhadap seorang pemimpin, kritiklah kebijakannya, bukan menyebar hoaks tentang latar belakang pribadinya. Jika memiliki bukti kuat, tempuh jalur hukum, bukan jalur viral.
Dan jika pengadilan sudah bicara, institusi sudah menjelaskan, dan tuduhan tidak terbukti, maka yang terbaik adalah menerima fakta meski tidak sesuai harapan kita.
Demokrasi bukan tentang siapa paling keras berteriak, tetapi siapa paling taat pada aturan main.
Comments
Post a Comment